Mendoakan Orang Lain, Tanda Kebersihan Hati Dan Kelapangan Jiwa
Sabtu, 21 Juli 2012
0
komentar
Tampaknya, mendoakan orang lain itu mudah adanya. Akan tetapi, pada
praktiknya tidak semudah yang dikatakan, apalagi jika kita harus
mendoakan orang-orang yang pernah menyakiti dan menzalimi kita. Hanya
orang-orang terpilihlah yang bisa ikhlas melakukannya. Betapa tidak,
untuk dapat melakukannya seseorang harus memiliki keyakinan akan
benarnya janji Allah, kelapangan hati, lurusnya akidah, dan keinginan
yang menggebu untuk melihat orang lain selamat.
Ada kisah mengharukan tentang Rasulullah saw. ketika beliau
berlindung di sebuah kebun anggur milik ‘Uthbah bin Rabi’ah sesaat
setelah beliau diusir oleh orang-orang Bani Tsaqif. Dengan kaki yang
berlumuran darah dan beberapa luka di tubuhnya yang mulia, di antara
keringat yang bercucuran, beliau mengadu kepada Allah Swt., dan di
antara linangan air mata, beliau berdoa, “Ya Allah, kepada-Mu aku
mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku dan kerendahan diriku
berhadapan dengan manusia. Wahai Zat yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Engkaulah Pelindung bagi orang lemah, dan Engkau jualah
pelindungku! Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang
jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan
menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka itu semua tak
kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan
kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi
kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari
murka-Mu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang
berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan.
Sungguh, tiada daya dan kekuatan apa pun melainkan atas perkenan-Mu.”
Ketika itu datanglah Malaikat Jibril menawarkan bantuan, “Wahai
Rasulullah, Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan ini malaikat yang
mengurus gunung-gunung, diperintah Allah untuk mematuhi seluruh
perintahmu. Dia tidak akan melakukan apa pun kecuali atas perintahmu.”
Lalu malaikat dan gunung berkata kepada Nabi, “Allah memerintahkan aku
untuk berkhidmat kepadamu. Jika engkau mau, biarlah aku jatuhkan gunung
itu kepada mereka.” Namun apa yang diucapkan Rasulullah saw.? “Wahai
malaikat dan gunung, aku datang kepada mereka karena aku berharap
mudah-mudahan keturunan mereka menjadi orang-orang yang mengucapkan
kalimat Lâilâha illallâh.” Nabi tidak mau menurunkan azab
kepada orang-orang Tha’if. Rasulullah saw. berharap kalau pun mereka
tidak beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Kemudian berkata
para malaikat dan gunung, “Engkau seperti disebut oleh Tuhanmu, sangat
penyantun dan penyayang.”
Sungguh luar biasa doa Rasulullah saw. ini. Besarnya rasa kasih
sayang dan keinginan untuk melihat umatnya selamat dunia akhirat,
menjadikan hinaan dan cacian dalam dakwah sebagai pemantik semangat bagi
Rasulullah saw. untuk lebih intens lagi mendoakan kebaikan bagi
orang-orang yang menentangnya. Perpaduan antara kelapangan hati,
kebersihan jiwa, keadaan yang terzalimi, keberkahan doa seorang Nabi,
telah menjadikan rintihan beliau menembus Arasy hingga Allah Swt
berkenan mengabulkan doa beliau. Kelak di kemudian hari, orang-orang
yang tadinya membenci dan menghambat dakwah beliau, termasuk orang-orang
Tha’if beserta anak keturunannya menjadi orang-orang yang mencintai Nabi dan berjuang di bawah panji-panji Islam.
Ada satu kisah lagi tentang bagaimana kebersihan hati Nabi dan
kelapangan dada beliau terhadap orang-orang yang justru gemar
menyakitinya. Doa beliau tidak hanya terucap dari lisan, akan tetapi
terwujud dalam perbuatan. Di salah satu sudut kota Madinah Al Munawwarah
berdiam seorang pengemis Yahudi buta. Setiap kali ada orang yang
mendekatinya dia selalu berkata, “Janganlah engkau dekati Muhammad. Dia
itu orang gila, pembohong dan juga tukang sihir. Jika engkau
mendekatinya, maka engkau akan dipengaruhinya.”
Apa yang Rasulullah saw. lakukan terhadap pengemis buta ini? Setiap
pagi beliau mendatanginya dengan membawakan makanan. Tanpa berbicara
sepatah kata pun, Rasulullah saw. menyuapi si pengemis dengan penuh
kasih sayang. Kebiasaan tersebut beliau lakukan setiap pagi, hingga
wafat. Setelah itu tidak ada lagi orang yang membawakan makanan
kepadanya.
Sepeninggal Rasulullah saw., Abu Bakar berkunjung ke rumah ‘Aisyah.
Dia bertanya kepada putrinya tersebut, “Wahai putriku, adakah satu sunah
kekasihku yang belum aku tunaikan?”
‘Aisyah menjawab, “Wahai ayahku, engkau adalah seorang ahli sunah,
dan hampir tidak ada satu sunah pun yang belum engkau lakukan, kecuali
satu saja.”
“Apakah itu,” seru Abu Bakar penasaran. “Setiap pagi Rasulullah saw.
selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang
pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” ungkap ‘Aisyah dengan mata
berkaca-kaca.
Keesokan harinya, Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan
untuk si pengemis. Setelah bertemu muka, Abu Bakar mencoba menyuapinya
dengan makanan yang dia bawa.
Namun, di luar dugaan pengemis malah murka dan berteriak, “Siapakah
kamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku ini orang yang biasa”. “Bukan…! engkau
bukan orang yang biasa mendatangiku,” jawabnya. “Jika dia datang
kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah pula mulut ini
mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tetapi
dia haluskan dulu makanan tersebut dengan mulutnya, setelah itu dia
berikan padaku dengan mulutnya sendiri,” ungkapnya lebih lanjut.
Abu Bakar tidak kuasa menahan deraian air matanya. “Aku memang bukan
orang yang biasa datang kepadamu, aku adalah salah seorang dari
sahabatnya. Orang mulia itu telah tiada. Dia adalah Muhammad Rasulullah
saw.,” ungkap Khalifah pertama ini sambil menangis.
Mendengar penjelasan Abu Bakar, pengemis itu terkejut lalu menangis
sejadi-jadinya. Kemudian dia berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku
selalu menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekannya, tapi dia tak
pernah memarahiku sedikit pun. Dia selalu mendatangiku setiap pagi
dengan membawakan makanan. Dia begitu mulia….”.
Tak lama kemudian, di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, pengemis Yahudi buta itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Dia masuk Islam karena ketinggian akhlak Nabi saw. r
“Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah
agar engkau menghubungkan tali silaturahmi dengan orang
yang memutuskan silaturahmi denganmu, memberi
kepada orang yang menghalang-halangi pemberian kepadamu,
dan memberi maaf kepada orang yang menganiaya dirimu.”
— HR Ath Thabrani dan Baihaqi —
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Mendoakan Orang Lain, Tanda Kebersihan Hati Dan Kelapangan Jiwa
Ditulis oleh Bagas Putra
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://mediamuslim17.blogspot.com/2012/07/mendoakan-orang-lain-tanda-kebersihan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Bagas Putra
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar